IKLAN;
IKLaN
Makalah Sejarah Kodifikasi Al-Quran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Baca Juga Kumpulan Makalah PAI Lengkap by Akhmad Khaerudin
Kodifikasi
atau pengumpulan Al-Qur’an menurut para ulama adalah salah satu dari
pengertian berikut : Pertama: Kodifikasi dari arti hifzuhu (menghafalkan
dalam hati), Jumma’ul Qur’an artinya Haffazuhu
(penghafal-penghafalannya, orang yang menghafalkannya dalam hati).
Inilah makna yang dimaksud dalam firman Allah kepada Nabi-nabi untuk
senantiasa mengerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca
Al-Qur’an.
Kedua: Kodifikasi dalam arti Kitabatuhu kullihi
(penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat
dan surat-suratnya atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat
ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertipkan
ayat-ayat dan surat-surat dalam lembaran-lembaran yang terkumpul dan
menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesuai bagian yang lain.
Al-qur’an
diturunkan selama 20 tahun lebih dan proses penurunannya terkadang hany
turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali
sebuah ayat turun dihafal di dalam dada dan di tempatkan dalam hati,
sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.
Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkupul dalam satu
mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman ?
2. Apa perbedaan antara mushhaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman?
3. Apa yang mendorong khalifah untuk menghimpun dan membukukan al-Qur’an?
4. Bagaimana perkembangan penulisan al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Mengetahui Kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi, Abu Bakar dan Utsman.
2. Mengetahui perbedaan antara mushaf al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman.
3. Mengetahui latar belakang dihimpunnya dan dibukukannya al-Qur’an.
4. Mengetahui perkembangan penulisan al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kodifikasi Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an
dikumpulkan pada dua masa,yaitu masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur
Rasyidin. Masing-masing tahap Kodifikasi ini mempunyai keistimewaan
tersendiri. Kata “Kodifikasi”, kadang diartikan menghafal dan
mengeluarkan dari dada para sahabat. Kadang pula diartikan penulisan
atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan keduanya ini berlaku
pada tahap Kodifikasi di zaman nabi sekaligus,yaitu :
1. Kodifikasi dalam dada, dengan cara menghafal dan mengekspresikannya.
2. Kodifikasi dalam tulisan, dengan cara menulis dan mengukirnya.
Kedua
sistem Kodifikasi tersebut sangat sempurna penjagaan dan perhatian
terhadap al-Qur’an al-Karim, baik penulisan dan pembukuan sebagai kitab
Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang abadi, yang tidak
dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Berikut ini akan kami jelaskan tahap
Kodifikasi Al-Qur’an diatas.
a. Kodifikasi Al-Qur’an dalam dada
Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi yang ummi. Otomatis, maka himmah Nabi hanya
tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat dihafal
sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada
manusia agar mereka dapat hafal dan membacakannya. Telah maklum bahwa
beliau adalah Nabi yang buta huruf yang diutus oleh Allah kepada bangsa
Arab yang juga buta huruf. Allah berfirman dalam surat Al-Jumu’ah:2
Artinya :
”Dia yang mengutus kepada umat yang ummi (Arab) seorang rasul diantara
mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan
mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan
kitab dan hikmah kepada mereka.” (QS.Al-Jumu’ah:2). (Ash-Shaabuuniy :94)
Sudah
barang tentu, biasanya seorang yang buta huruf berpegang kepada orang
yang hafal dan mengingatnya. Karena dia tidak bisa membaca atau menulis,
maka bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an bangga dengan sifat
kekhususannya, yaitu memiliki daya ingat yang kuat serta cepat
menghafal,bahkan hatinya begitu terbuka.
Rasulullah ingin sekali
hendak mengumpulkan wahyu itu. Turunnya ayat itu oleh nabi ditunggu
dengan kerinduan dan setelah turun oleh Nabi dipahami dan dihafalnya.
Benarlah janji Allah yang berbunyi “Sesungguhnya atas tanggung jawab
kamilah megnumpulkannya (dalam dadamu) membuat kamu pandai
membaca.(QS.75:17).Kemudian datang Al-Qur’an yang ternyata dengan
kuatnya penjelasan kehebatan hokum-hukum serta kehebatan kerajaannya
dapat mengalahkan syair-syair arab.Bahkan mampu mengalahkan akal dan
pikiran,sehingga orang arab mengalihkan perhatiannya kepada kitab mulia
itu.Dengan sepenuh hati mereka curahkan untuk menghafal dan membaca
ayat-ayat serta surat-suratnya. Mereka meninggalkan
syair-syairnya.Karena mereka telah menemukan cahaya kehidupan dalam
Al-Qur’an.
Usaha keras Nabi Saw untuk menghafal Al-Qur’an terbukti
setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah
membaca dan merenungkan maknanya, sehingga telapak beliau yang mulia itu
pecah-pecah lantaran banyak berdiri menjalankan perintah Allah. Maka
tidak heran jika Rasulullah Saw menjadi sayyid para huffazh.Hatinya yang
mulia itu penuh dengan Al-Qur’an.Beliau menjadi tempat bertanya bagi
setiap kaum muslimin yang kesulitan tentang Al-Qur’an.Demikian pula para
sahabat.Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan mempelajari
Al-Qur’an.Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membaca dan
menghafalnya.Mereka mengajarkan kepada para istri dan anak-anak dirumah
mereka.Di setiap rumah yang dilewati dalam kegelapan malam,disana
terdengar gemuruh suara Al-Qur’an. Bahkan Rasulullah Saw pernah pada
suatu ketika lewat dirumah seorang anshar,beliau berhenti untuk
mendengarkan Al-Qur’an dalam kegelapan malam.Imam Bukhari mengeluarkan
hadist dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Saw, berkata
kepadanya:
“Andaikata tadi malam kau memberitahukan kepadaku dan
aku mendengar bacaanmu itu,tentu akan ku beri “mizmar” (suling) keluarga
dawud……….”
Didalam hadist Bukhari dikatakan bahwa ada tujuh orang
sahabatyang hafal Al-Qur’an.Mereka itu ialah Abdullah Ibnu Mas’ud,
Salim bin Mu’aqil maula Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu Dardak. Hadist dari Abdullah
bin Amru bin ‘Ash mengatakan :Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda
:Ambillah Al-Qur’an itu dari empat orang yaitu Abdullah bin Mas’ud,
Salim, Mu’az dan Ubay bin Ka’ab. Dari yang empat ini dua orang
diantaranya dari golongan muhajirin yaitu Abdullah bin Mas’ud dan
Salim,dan dua orang lagi dari golongn anshar yaitu Mu’az dan Ubaiya.
Hadist
dari Qatadah RA,berkata:Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik
RA,siapa orang yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Rasulullah? Beliau
menjawab :empat orang keseluruhannya itu orang anshar yaitu Ubay bin
Ka’ab,Mu’az bin Jabal,Zaid bin Tsabit,dan Abu Zaid.Siapa Abu Zaid itu ?
Katanya,salah seorang dari orang kebanyakan.
Dari tujuh orang
itulah yang disebutkan oleh Bukhari,mereka itulah yang memikul tanggung
jawab mengumpulkan Al-Qur’an menurut apa yang mereka hafal itu.Dan yang
dihafalnya itu dikembalikan kepada Nabi melalui sanad-sanad mereka
inilah Al-Qur’an itu sampai kepada kita sekarang ini.Adapun orang-orang
selain dari mereka ini masih banyak lagi yang hafal Al-Qur’an.Tidak kita
kenal semua mereka itu apalagi pada masa itu tempat kediaman para
sahabat-sahabat Nabi ini letaknya berjauh-jauhan dan terpencar-pencar di
daerah-daerah yang berjauhan dalam kerajaan.Dari sini jelas bahwa para
huffazh pada zaman Rasulullah Saw tidak terhitung lagi jumlahnya.Kita
tahu jumlah mereka yang mati syahid pada perang Yamamah lebih dari 70
huffazh,dan sejumlah itu pula huffzh yang mati syahid pada zaman
Rasulullah Saw di Bi’ri Ma’unah.Sehingga jumlah mereka yang mati syahid
pada dua peristiwa itu mencapai 140 huffazh.Sungguh merupakan suatu
keistimewaan yang luar biasa bagi umat Muhammad Saw dimana kitab suci
ini dapat dihafal dalam dada mereka.Sehingga dalam menuqilnya,mereka
berpegang pada hafalan hati,bukan pada tulisan dalam shahifah-shahifah
dan buku saja.Lain halnya dengan para ahli kitab Taurat atau
Injil,dimana dalam menjaga keduanya mereka hanya berpegang pada tulisan
yang telah dibukukan saja.Mereka selalu membacanya dengan mata
kepala,tidak hafal diluar kepala.Oleh sebab itu pada keduanya bias
terjadi perubahan dan pergantian.Adapun Al-Qur’an,Allah telah menjaganya
dengan pertolongan-Nya.Dia memudahkannya untuk dihafal.Dia menjaganya
dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara menjaganya dalam
dada.Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya :”Sesungguhnya telah kami turunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami memeliharanya”.(QS.Al-Hijr:22)
Jelas
tidak diragukan lagi,bahwa itu semua merupakan pertolongan Allah khusus
untuk kitab suci ini yang sekaligus merupakan tanda kemuliaan bagi umat
Muhammad Saw dimana dia telah menjadikan pelita pada dada-dada
mereka,serta memberi mereka kitab yang tidak luntur dibasuh oleh air.
b. Kodifikasi Al-Qur’an pada tulisan
Keistimewaan
kedua untuk Al-Qur’an ini adalah Kodifikasi dan penulisannya pada
lembaran-lembaran. Rasulullah Saw mempunyai beberapa penulis wahyu.
Manakala turun ayat, segera beliau perintahkan mereka untuk menulisnya,
untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan pengukuhan serta pemeliharaan
terhadap kitab Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa penulisan itu cocok
dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada mereka. Para penulis
adalah orang-orang pilihan diantara sahabat. Rasulullah memilih mereka
yang telah terbukti ketaqwaanya demi usaha yang demikian penting dan
agung. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz
bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyidin, dan yang lain
dari golongan sahabat. Setelah wahyu turun lantas Nabi menyuruh mereka
menuliskannya. Nabi sendiri yang menunjukkannya kepada mereka untuk
menempatkan surat-surat itu ditempatnya. Tulisan itu jelas dalam bentuk
huruf dan dikumpulkan berdasarkan hafalan.
Sebagaimana diketahui,
mula-mula ada diantara sahabat itu menuliskan Al-Qur’an hanya untuk
dirinya sendiri. Nabi menyuruh supaya ditulis dengan rapi dan
dikumpulkan sehingga merupakan sebuah kitab. Mereka itu menulisannya ada
yang diatas pelepah kurma, diatas batu, pelepah tamar, papan,
potongan-potongan kulit, diatas kayu yang diletakkan diatas punggung
keledai dan diatas tulang-tulang. Kata Zaid bin Tsabit, kami dimasa
Rasulullah menuliskan Al-Qur’an itu diatas kulit atau diatas daun. Hal
ini menunjukkan betapa sulitnya tugas yang dipikul oleh sahabat Nabi
dalam menuliskan Al-Qur’anulkarim. Karena pada waktu itu orang tidak
mudah mendapatkan alat-alat tulis menulis, kecuali dengan cara beginilah
tulisan itu melimpah pada hafalan.
Dimasa Nabi masih hidup, maka
tulisan Al-Qur’an itu belum ada yang dikumpulkan pada mushaf. Tulisan
yang kita kenal pada masa sekarang ini belum ada pada masa itu. Menurut
catatan orang pandai, ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu Ali
bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah menerima dan menghafal Al-Qur’an itu,
ditulis pada mushaf. Ketika itu ayat dan surat-surat masih bercerai
berai atau yang tersusun hanya baru ayat saja. Tiap-tiap surat pada
shahifah itu dibatasi dengan huruf yang tujuh yang ketika itu sudah
diperdapat. Pada umumnya belum dikumpulkan pada satu mushaf. Wahyu itu
turun berturut-turut, lalu dihafal oleh ahli qiro’at dan ditulis. Ketika
itu belum ada keinginan orang untuk membukukan Al-Qur’an ini pada satu
mushaf. Karena ketika itu Nabi masih menunggu wahyu itu dari masa yang
terakhir. Kadang-kadang orang menasikhkan wahyu yang turun sebelumnya.
Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya wahyu, tapi
baru ditulis sesudah ayat itu turun. Agar supaya Nabi-lah yang
menunjukkan untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat
ini pada surat ini. Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan
ayat-ayatnya,sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw dan perintah (wahyu)
dari Allah SWT.Oleh sebab itu,para ulama bersepakat bahwa Kodifikasi
Al-Qur’an adalah bersifat ‘taufiqi’.yaitu bahwa urutannya sedemikian
rupa seperti yang kita lihat saat ini,adalah berdasarkan perintah dari
wahyu Allah SWT.
Pada masa Nabi masih hidup,tulisan Al-Qur’an itu
belum ada yang di kumpulkan orang pada mushaf.Tulisan yang kita kenal
pada masa sekarang ini belum ada pada masa itu.Menurut catatan orang
pandai,ada beberapa orang diantara mereka itu yaitu Ali bin Abi
Thalib,Mu’az bin Jabal,Ubaiya bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah
bin Mas’ud.Semua ayat-ayat Al-Qur’an pada waktu itu hanya baru
dikumpulkan.Tulisan Al-Qur’an itu belum disusun menurut susunan turunnya
wahyu,tapi baru ditulis sesudah ayat itu turun.Agar supaya Nabilah yang
menunjukkan untuk meletakkan tulisannya itu diantara ayat ini dan ayat
ini pada surat ini.
B. Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Sidiq
Setelah
Abu Bakar menduduki kursi khalifah, yaitu setelah wafatnya Rasulullah
SAW, maka Abu Bakar menghadapkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa
besar pada masa itu yaitu murtadnya sebagian orang Arab. Maka dia
menyediakan pasukan-pasukan untuk menghadapi orang-orang murtad ini.
Peperangan yang dilakukan terhadap penduduk Yaman terjadi pada tahun ke
12 hijriah. Disini berkumpul sejumlah besar sahabat yang qari’
Al-Qur’an. Dalam peperangan ini syahid 70 orang sahabat yang qari’
Al-Qur’an. Melihat hal yang demikian ini maka Umar bin Khattab merasa
khawatir. Dia datang kepada Abu Bakar membicarakan agar supaya Al-Qur’an
ini dikumpulkan dan ditulis, dikhawatirkan akan sia-sia. Karena
banyaknya ahli qira’at yang terbunuh dalam pertempuran di Yamamah
tersebut, maka hal ini dikhawatirkan. Setelah itu Abu Bakar mengutus
Zaid bin Tsabit dalam masalah qira’at, menuliskannya, memahami, dan
memikirkannya. Al-Qur’an yang ditulis pada pelepah-pelepah tamar, pada
batu-batu dan tulang-tulang itu disalinnya kembali. Dan mushafnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Oleh Abu Bakar mushaf ini disimpannya, dan
setelah dia meninggal, maka mushaf ini dipindahkan kepada khalifah Umar.
Disinilah disimpan mushaf itu sampai Umar meninggal.(Quthan:143)
Terdapat
pula mushaf-mushaf pribadi dikalangan beberapa orang sahabat, seperti
mushaf Ali, mushaf Ubaiya, mushaf Ibnu Mas’ud. Mushaf ke empat orang ini
tidak seperti mushaf yang dikemukakan ini. Tidak dapat menyamainya,
baik dari segi susunan, maupun dari segi lainnya. Disinilah letak
keistimewaan mushaf Abu Bakar. Menurut pendapat sebagian ulama,
Al-Qur’an itu juga dinamakan mushaf. Timbulnya yaitu sejak Abu Bakar
mengumpulkan mushaf itu. Kata Ali, orang yang paling besar jasanya dalam
mengumpulkan mushaf ialah Abu Bakar RA. Allah telah memberi rahmat
kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama kali mengumpulkan mushaf.
Kumpulannya ini dinamakan kumpulan kedua.(Quthan:145)
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Shiddiq:
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3. Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-qur’an.
4. Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan
tersebut menimbulkan kekaguman dihati para sahabat terhadap usaha Abu
Bakar dalam memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal
tersebut berkat taufiq serta hidayah dari Allah SWT.(Ash-Shabuuniy:105)
C. Kodifikasi Al-Qur’an di masa Utsman bin Affan
Semakin
meluasnya penaklukan-penaklukan islam. Ahli-ahli qira’at
terpencar-pencar di daerah-daerah kerajaan islam. Ahli-ahli ilmu
pengetahuan tiap-tiap daerah kerajaan mengambil qira’at ini dari
utusan-utusan yang dikirim ke daerah-daerah mereka. Mereka hidup menurut
kelompok atau daerah tempat tinggal mereka. Sebagian dari bentuk
perbedaan ini menakjubkan. Semua kelompok ini bersandarkan kepada
Rasulullah. Namun hal ini tidak akan merubah penulisan kitab yang
menimbulkan keragu-raguan yang belum terpikir oleh Rasulullah SAW.
Berbicara tentang perbedaan itu berjalan terus sampai kepada yang lebih
bagus. Kebagusan ini selalu ditingkatkan, malah sudah sampai melampaui
batas dan perbuatan dosa.(Quthan:146)
Di waktu terjadi pertempuran
sengit di Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak. Dalam kedua
pertempuran ini Huzaifah bin Al-Yamani memperhatikan banyak terdapat
banyak perbedaan pendapat dalam masalah qira’at. Sebagian orang ada yang
salah bacaannya. Di samping itu tiap-tiap orang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memperbaiki bacaan dan wakaf-wakafnya. Karena
adanya perbedaan itu, maka timbul kekhawatiran dikalangan para sahabat.
Hal ini dengan secara berangsur-angsur akan terjadi perubahan dan
pertukaran letak. Karena itu khalifah mengumpulkan orang dan
memerintahkan kepada mereka untuk menyalin mushaf pertama yang berada
pada Abu Bakar kemudian mushaf itu diserahkan kepada Utsman. Kemudian
Utsman mengutus Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Sa’id ibnu Ash
dan Abdurrahman bin Al-Harist untuk menyalin mushaf-mushaf. Dan salinan
itu oleh Utsman dikirim keseluruh penjuru kerajaan islam pada waktu itu.
Disini Utsman memerintahkan tiap-tiap mushaf yang berbeda dari
Al-Qur’an supaya dibakar.(Quthan:146)
D. Perbedaan antara mushaf Abu Bakar dan mushaf Utsman
Perbedaan
antara Kodifikasi (mushaf) Abu Bakar dan Usman adalah sebagai
berikut.Kodifikasi mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan
dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf dan ayat-ayatnya sudah
tersusun,berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan
batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang.Adapun latar belakangnya
karena banyaknya huffaz yang gugur.Sedangkan Kodifikasi musahf pada masa
Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu
Bakar,dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam.Latar
belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.(Ash-Shaabuuniy
:110)
1. Terminologi Rasm al-Mushhaf
Rasm berasal dari
kata rasama, yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Dalam ilmu
al-Qur’an, yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an/al-Mushhaf tatacara
penulisan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Rasm al-Mushhaf dilakukan oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdrrahman bin Harits.
Panitia empat yang dibebani tugas penulisan beberapa naskah al-Qur’an
tersebut, menempuh cara khusus yang direstui oleh khalifah, baik dalam
hal penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk huruf yang digunakannya.
Banyak ulama yang mengaitkan tulisan tersebut dengan khalifah yang
memberi tugas sehingga menyebutnya sebagai Rasm Utsmani (Shalih, 361).
Pola
penulisan rasm utsmani memiliki perbadaan dengan kaidah atau standar
penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern.
Rasm Utsmani juga berbeda dengan cara penulisan aruzh (ilmu untuk
menimbang syair). Pola rasm utsmani inilah yang kemudian dijadikan
standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushhaf al-Qur’an.
2. Para Penulis Ayat al-Qur’an
Oleh
karena Nabi Muhammad saw itu seorang “ummi”, tidak bisa pandai membaca
dan menulis, maka sewaktu-waktu beliau pandai membaca tulisan dan
menulis, maka sewaktu-waktu beliau menerima wahyu al-Qur’an da telah
dibacakan oleh malaikat Jibril, lalu beliau menghafalkannya demgam
sempurna. Kemudian beliau menyuruh para sahabat yang telah ditetapkan
atau diangkat menjadi penulis beliau untuk menulis wahyu-wahyu itu.
Menurut
riwayat, paa penulis beliau waktu itu ada 26 orang, bahkan ada pula
yang meriwayatkan 42 orang. Adapun nama-nama mereka yang 26 adalah: 1.
Abu Bakar as-Shiddiq, 2. Umar bin al Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4.
Ali bin Abi Thalib, 5. Zubair bin Awwam, 6. Amir bin Fuhairah, 7.
Abdullah bin Arqam, 8. Amr bin ‘Ash, 9. Ubayya bin Ka’ab, 10. Mughirah
bin Syu’bah, 11. Handlalah bin ar Rabi’, 12. Abdullah bin Ruwahah, 13.
Khalid bin Walid, 14. Khalid bin Sa’id, 15. Al ‘Alla bin Hadhrami, 16.
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, 17. Yazid bin Abi Sufyan, 18. Muhannad bin
Maslamah, 19. Abdullah bin Abdullah bin Ubayya, 20. Mu’aiqib bin Abi
Fthimah, 21. Hudzaifah bin Yaman, 22. Abdullah bin Abi Sarah, 23.
Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, 24. Hashien bin Namier, 25. Tsabit bin Qais,
dan 26. Zaid bin Tsabit.
Para penulis al-Qur’an yang telah
ditetapkan oleh Nabi saw itu, mereka menulisi ayat-ayat al-Qur’an
tidaklah dijadikan satu, tidak disatu tempat. Sebagian menulisnya di
pelapah-pelapah korma, sebagian di atas batu-batu putih yang tipis,
sebagian disobekan-sobekan kain dan lain sebagainya. Oleh masing-masing
penulis al-Qur’an, ditulisnya ayat-ayat itu dua buah, yang satu
disampaikan kepada Nabi dan yang satu disimpan untuk dirinya sendiri.
Dan sebagian banysk dari mereka itu setelah menulisnya lalu
menghafalkannya sampai lancar di luar kepala.
Kepada para penulis
al-Qur’an, ditunjukkan pula oleh Nabi saw letak dan tempatnya, yakni
dimana ayat satu dengan ayat lainnya itu diletakkan dan di surat apa
diletakkan. Semuanya itu diatur olh Nabi saw dengan pimpinan Allah
melalui perantaraan malaikat Jibril. Kata Utsman r.a : “Rasulullah saw
apabila turun surat kepada yang mengandung beberapa ayat, lalu apabila
turun lagi suatu ayat kepadanya, dia segera memanggil orang yang menulis
(penulis), lalu bersebda : “Letakkanlah ayat-ayat ini di dalam surat
yang disebut di dalamnya ini……... dan ini………. (Riwayat Imam Imam Ahmad,
Turmudzi, Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Jadi, tertib dan susunan
ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini, adalah memang telah
diatur oleh Nabi saw sendiri, dan belau mendapat pimpinan resmi dari
Allah swt.
Al-Qur’an di zaman Nabi saw belumlah dijadikan sebuah
buku. Sebabnya Nabi belum memerintahkan supaya dihimpun menjadi satu,
karena beliau masih-masih menanti-nanti adanya wahyu lagi. Yakni kalau
masih ada wahyu lagi yang akan diterimanyasebagai tambahan atau
perubahan. Tetapi setelah ternyata tidak ada lagi wahyu yang datang,
maka Nabi saw memerintahkan kepada penulisnya, supaya menghimpun
ayat-ayat dan surat-surat yang telah ditulis oleh mereka masing-masing.
Sebelum para penulis wahyu selesai mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang
berserak-serak itu, tiba-tiba Nabi saw terburu wafat. Jadi dikala itu
al-Qur’an belum dihimpun menjadi sebuah buku.
E. Permulaan al-Qur’an Dihimpun dan Dibukukan
Diriwayatkan
bahwa dikala Abu Bakar as-Shiddiq menjabat khalifah, dengan
sekonyong-konyong ada suatu peristiwa yang seakan-akan mendorong kepada
beliau, agar ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an yang masih
berserak-serak itu dihimpun dan dikumpulkan menjadi sebuah buku.
Peristiwa itu ialah terjadinyua peperangan di Yamamah, peperangan antara
kaum Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad). Dalam peperangan ini
banyak dari para sahaba yang meninggal dunia. Diriwayatkan ada 70 orang
yang wafat.
Sehubungan dengan ini, Umar bin Khattab berfikir dan
berpendapat bahwa : jika hal demikian terjadi terus menerus, para
sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang tewas (syahid), mungkin
nantinya menyebabkan fitnah yang besar bagi kaum Muslimin. Maka
seketika itu datanglah beliau kepada khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
dengan mengemukakan usul bahwa hendaknya ayat-ayat dan surat-surat
al-Qur’an segera dihimpun, dikumpulkan menjadi satu. Usul sebaik itu
disetujui oleh khalifah Abu Bakar dan para sahabat besar yang lain pada
waktu itu.
Persetujuan bulat dari mereka itu ditambah pula dengan
pembicaraan siapa-siapa yang akan diserahi tugas yang maha berat ini.
Akhirnya mereka serentak memutuskan Zaid bin Tsabit, salah seorang
penulis al-Qur’an yang kenamaan. Kemudian dipanggillah Zaid bin Tsabit
dan Khalifah berkata kepadanya : “Hai Zaid, engkau seorang pemuda yang
berakal serta cerdas. Kami tidak akan menaruh dugaan yang baik kepadamu.
Dari dahulu engkaulah seorang penulis wahyu yang senantiasa menuliskan
wahyu untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu kini hendaklah
tulisan-tulisan itu engkau kutip semuanya dan himpunlah menjadi satu !”.
Kata Zaid bin Tsabit : “ Sesungguhnya demi Allah, jika sekiranya mereka
menyuruhku supaya aku memindahkan satu gunung itu lebih ringan bagiku
daripada menghimpunkan al-Qur’an yang disuruhkan mereka itu atas
diriku”. Selanjutnya ia berkata : “Bagaimana aku diperintah mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw?”.
Kata Abu Bakar : “ Demi Allah itu pekerjaan yang baik dan utama”.
Demikianlah
selanjutnya hingga Abu Bakar berulang kali memerintahkan Zaid supaya
mengerjakan pekerjaan yang baik dan utama itu, sehingga terbukalah hati
Zaid untuk mengerjakan perintah menghimpun dan mengumpulkan al-Qur’an
dari catatan-catatan yang ada di pelapah-pelapah korma, dari batu-batu
dan dari dada-dada pada orang yang yang hafal al-Qur’an. Kemudian
setelah selesai al-Qur’an dihimpun menjadi satu naskah, lalu diserahkan
kepada Abu Bakar, dan oleh beliau lalu disimpan baik-baik sampai datang
hari wafatnya.
Kemudian sepeninggal Abu Bakar, naskah al-Qur’an
itu berpindah ke tangan Umar bin Khattab selaku khalifah ke II, dan
sepeninggal beliau ini, lalu disimpan oleh salah seorang putrinya, ialah
Siti Hafshah bekas istri Nabi saw.
Demikianlah singkatnya
riwayat al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah,
dan itulah permulaan al-Qur’an dihimpun menjadi sebuah buku. Peristiwa
itu terjadi pada tahun ke XI dari hijriah.
F. Dihimpunnya al-Qur’an yang Kedua Kali dan Mula Disiarkannya ke Negara-Negara Islam
Kemudian
setelah jabatan khalifah berpindah kepada Utsman bin Affan r.a dan
Islam dikala itu telah tersyiar ke negara Syam, Iraq dan lain-lainnya,
maka ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diharapkan, yang
riwayatnya dengan singkat sebagai berikut :
Ketika Utsman r.a
mengerahkan balatentara Islam ke Negara Syamdan Iraq untuk memerangi
penduduk Armenia dan Adzribijan, sekonyong-konyong datanglah sahabat
Hudzaifah bin Yaman ke hadapan serta memberitahukan, bahwa dalam
lingkungan kaum Muslimin di Negara-negara Islam banyak kejaian
perselisihan tentang bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu ia
mengusulkan kepada khalifah Utsman, hendaknya perselisihan itu segera
dipadamkan, dengan jalan bahwa al-Qur’an yang telah dihimpun menjadi
sebuah naskah di zaman Abu Bakar r.a itu dikirimkan kesana, yang
sedemikian itu agar kaum Muslimin tidak berselisih dalam urusan bacaan
al-Qur’an, sebagaimana terjadi yang pernah terjadi dalam lingkungan para
ahli kitab (kaum Yahudi-Nasrani) dalam urusan kitab mereka.
Di
samping itu, di Madinah ada kanak-kanak kaum Muslimin yang bercekcok,
lantaran berselisih dalam urusan bacaan al-Qur’an, yang akhirnya
perselisihan menimbulkan pertengkaran mulut, kemudian menjadi
pertengkaran ramai antara para guru al-Qur’an yang biasa mengajar
kanak-kanak, sehingga timbul bunuh membunuh diantara mereka.
Khalifah
Utsman setelah menerima berita yang menyedihkan itu, dengan segera
mengutus orang mengambil naskah al-Qur’an peninggalan Abu Bakar yang
disimpan oleh Siti Hafshah, dengan maksud naskah itu akan diturun, dan
turunnya akan dikirimkan ke pusat-pusat Negara-negara Islam dikala itu.
Dalam pada itu, beliau memanggil pula para bekas penulis wahyu dan para
sahabat Nabi yang hafal al-Qur’an, yang masih hidup dikala itu, untuk
diajak bermusyawarah tentang bacaan al-Qur’an.
Demikianlah, maka
oleh Siti Hafshah naskah al-Qur’an yang ada di tangannya lalu segera
dikirimkan kepada khalifah Utsman. Kemudian setelah naskah itu sampai di
tangan beliau, lalu beliau memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘ash dan Abdurrahman bin Harits, supaya
mereka itu menyalin isi naskah dari Siti Hafshah tadi.
Perintah
itu diterima baik oleh mereka masing-masing, dan beliau lalu berkata
kepada mereka : “Apabila kamu bertiga berselisih dengan Zaid bin Tsabit
tentang sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah kamu tulis al-Qur’an itu
dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa
Quraisy. Utsman berkata demikian itu, lantaran Zaid bin Tsabit itu bukan
dari bangsa Quraisy, sedang tiga orang lainnya itu dari bangsa Quraisy.
Kemudian setelah mereka menyalin, naskah Siti Hafshah tadi
dikembalikan, dan salinan itu dijadikan lima buah naskah. Ini menurut
riwayat yang masyhur. Lima buah naskah mashhaf al-Qur’an itu oleh Utsman
lalu dikirimkan : sebuah ke Mekkah, sebuah ke Syam, sebuah ke Kufah,
sebuah ke Bashrah dan sebuah disimpan oleh beliau. Dalam riwayat lain
tujuh buah, yakni dengan tambahan sebuah ke Yaman dan sebuah ke Bahrain.
Dalam pada itu beliau memerintahkan pula ke seluruh pusat Negara Islam
dikala itu, bahwa naskah al-Qur’an yang ada sebelumnya, supaya dibakar
atau disesuaikan dengan salah satu salinannaskah al-Qur’an yang lima
buah itu. Menurut keterangan y.m. Imam Ibnu Hajar al ‘Ashqallani :
kejadian tersebut itu pada tahun ke XXV dari hijriah.
G. Perkembangan Penulisan al-Qur’an
Penyempurnaan
penulisan al-Qur’an terus berlangsung setelah penulisan pada masa
khalifah Utsman. Mushhaf Utsmani tidak dilengkapi dengan tanda-tanda
baca seperti mushhaf yang dikenal sekarang ini. Belum ada tanda berupa
titik untuk membedakan antara huruf yang mirip. Sebab, para sahabat yang
juga mengandalkan hafalan tidak menemui kesulitan dalam membaca mushhaf
pada masa itu. Kesulitan baru dialami setelah dunia Islam meluas dan
banyak orang non Arab masuk Islam.
Ketika Ziyad bin Samiyyah
menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyyah bin Sufyan (661-680 M)
–riwayat lain menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib –ia memerintahkan
kepada Abu al-Aswad al- Duwaliuntuk membuat tanda-tanda baca, terutama
untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal al-Qur’an. Pada awalnya ia menolak, namun setelah ia
mendengar sendiri kesalahan bacaan yang fatal, ia bersedia dan bahkan
menawarkan sendiri untuk meletakkan tanda-tanda bacaan tersebut.
Al-Duwali
memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas
huruf , tanda baris bawah (kasrah) berupa sebuah titik di bawah baris,
tanda dhammah berupa waw kecil diantara dua huruf, dan konsonan mati
tanpa menggunakan tanda apa-apa.
Pada perkembangan selanjutnya,
khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) memerintahkan Hajjaj bin
Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an. Ia
mendelegasikan tugas itu kepada Yahya bin Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim,
keduanya murid al-Duwali. Kedua oaring inilah yang membubuhi titik pada
sejumlah huruf tertentu yang memiliki kemiripan, misalnya penambahan
titik diatas huruf dal sehingga menjadi huruf dzal. Penambahan titik
yang bervariasi pada huruf dasar (ب) sehingga menjadi ba’, ta’, dan
tsa’, huruf dasar (ح) menjadi jim, ha’, kha’. Ra’ dibedakan dengan zay,
sin dibedakan dengan syin, shad dibedakan dengan zhat, tha’ dibedakan
dengan dla’, ‘ain dibedakan dengan ghain, dan fa’ dibedakan dengan qaf.
Dalam
perkembangan berikutnya, pemberian tanda nomor ayat, kode sepuluh ayat,
tanda awal surat, keterangan Makkiyah dan Madaniyah, serta
pengelompokan menjadi 30 juz, dilakukan sebagai jawaban terhadap
kebutuhan Umat Islam. Sekalipun pada awalnya dianggap sebagai bid’ah
dhalalah –terutama bagi yang berpendapat bahwa penulisan al-Qur’an
bersifat tawqifi, penambahan ini akhirnya diterima sebagai sesuatu yang
mubah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an
diturunkan selama dua tahun lebih , proses penurunannya terkadang hanya
turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat.
Tulisan-tulisan Al-qur’an pada maa Nabi tidak terkumpul dalam satu
mushaf. Susunan penulisan Al-Qur’an pun tidak menurut susunan nuzulnya,
tetapi setiap ayat yang turun ditulis di tempat penulisan yang sesuai
dengan petunjuk Nabi. Nabi tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu
mushaf karena ia senantisa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian
hukum-hukum atau bacaannya.
Pada masa Nabi Al-Qur’an masih
berserakan pada kulit, tulang dan pelepah kurma, dengan demikian, abu
bakar memerintahkan agar dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat
dan ,surat-suratyang tersusun serta ditulis dengan sangat berhati-hati
dan mencangkup tujuh huruf yang dengan itu Al-Qu’an diturunkan. Setelah
itu Usman juga mengumpulkan Al-Qur’an ,dengan cara menyalin dalam satu
huruf diantara tujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin.
Kodifikasi
al-Qur’an pada masa Abu Bakar merupakan bentuk pemindahan dari
pelepah-pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan kulit-kulit binatang
yang ditulis menjadi satu mushaf dengan ayat-ayat yang sudah tersusun.
Dikumpulkannya al-Qur’an pada masa ini karena banyak para huffadz yang
gugur dalam peperangan. Sedangkan pada masa Utsman merupakan bentuk
penyalinan dari mushaf yang telah ada pada masa Abu Bakar dan dikirim ke
Negara-negara Islam. Disalinnya karena banyak perbedaan dalam membaca
al-Qur’an.
Penyempurnaan al-Qur’an terus berlangsung setelah
penulisan al-Qur’an pada masa Utsman diantaranya penambahan-penambahan
harakat (fathah, kasrah, dhammah) oleh al Duwali serta pembubuhan titik
pada huruf al-Qur’an yang memiliki kemiripan bentuk oleh Yahya bin
Ma’mur dan Nashr bin ‘Ashim, keduanya murid al-Duwali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ash-Shaabuuniy, 1998, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung : CV PUSTAKA SETIA
2. Quthan Mana’ul, 1996, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Bandung : PT RINEKA CITRA
3. Moenawar Kholil, K.H. 1994. “al-Qur’an Dari Masa ke Masa”. Solo: Ramadlani
4. Dkk, Saifullah. 2004. “Ulumul Qur’an”. Ponorogo: Prodial Pratama Sejati (PPS) Press Jalan Betoro Katong
Baca Juga Kumpulan Makalah PAI Lengkap by Akhmad Khaerudin
By Akhmad Khaerudin
IKLAN
0 komentar on :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !