Makalah For You

Makalah untukmu gratis ...


Google+

Makalah Konsep Dasar Media Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam tahun-tahun belakangan ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran ke arah paradigma konstruktivisme. Menurut pandangan ini bahwa pengetahuan tidak begitu saja bisa ditransfer oleh guru ke pikiran siswa, tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksi di dalam pikiran siswa itu sendiri. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered), tetapi yang lebih diharapkan adalah bahwa pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). Dalam kondisi seperti ini, guru atau pengajar lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Jadi, siswa atau pebelajar sebaiknya secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar, berupa lingkungan. Lingkungan yang dimaksud (menurut Arsyad, 2002) adalah guru itu sendiri, siswa lain, kepala sekolah, petugas perpustakaan, bahan atau materi ajar (berupa buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video, atau audio, dan yang sejenis), dan berbagai sumber belajar serta fasilitas (OHP, perekam pita audio dan video, radio, televisi, komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat-pusat sumber belajar, termasuk alam sekitar).

B.    Rumusan masalah
1.    Apa pengertian media pembelajaran ?
2.    Apa fungsi dan manfaat media dalam proses pembelajaran PAI ?
3.    Apa saja ruang lingkup materi dan urgensinya dalam proses pembelajaran PAI ?
C.    Tujuan
1.    Mengetahui pengetian media pembelajaran
2.    Mengetahui fungsi dan manfaat media dalam proses pembelajaran PAI
3.    Memgetahui ruang lingkup materi dan urgensinya dalam proses pembelajaran PAI
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Media Pembelajaran
Menurut asal katanya, media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pesan moral dari pengirim ke penerima pesan.
Ada beberapa tokoh yang mengartikan media, seperti: Gagne menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Briggs menyatakan bahwa media adalah alat untuk memberikan perangsang bagi siswa untuk belajar, contoh: buku, kaset, film dan film bingkai. Anderson, dalam pemilihan dan pengembangan media pembelajaran mengatakan bahwa media pembelajaran adalah media yang memungkinkan terwujudnya hubungan langsung antara karya seseorang pengembang mata pelajaran dengan para siswa.  Sedangkan menurut Sudarwan Danim, dalam media komunikasi pendidikan, mendefinisikan media pengajaran sebagai seperangkat alat bantu atau pelengkap yang digunakan oleh guru atau pendidik dalam rangka berkomunikasi dengan siswa atau peserta didik.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang fikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Di samping itu media bukan hanya sekedar sebagai alat bantu mengajar, tetapi lebih merupakan alat bantu penyalur pesan kepada siswa dan dengan media, peranan guru akan berubah yang semula sebagai penyaji menjadi sebagai pengelola kegiatan belajar.
B.    Fungsi dan Manfaat Media dalam Proses Pembelajaran PAI
Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, dimana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian diantara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pembelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pembelajar. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986). Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.
Tetapi Levi & Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pengajaran, khususnya media visual, yaitu:
1.    Fungsi atensi, media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.
2.    Fungsi afektif, media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan sisiwa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa.
3.    Fungsi kognitif, media visual dapat terlihat dari temuan-temuan penelitian yang menggungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mrngingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
4.    Fungsi kompensatoris, media pengajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pengajaran untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Sedangkan manfaat media pengajaran lebih rinci menurut Ely (1979) adalah sebagai berikut:
1)     Meningkatkan mutu pendidikan dengan jalan mempercepat rate of learning; membantu guru untuk untuk menggunakan waktu belajar secara lebih baik, mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, aktivitas guru lebih banyak difokuskan untuk meningkatkan kegairahan anak didik.
2)    Memberi kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan memperkecil atau mengurangi kontrol guru yang tradisional dan kaku, memberi kesempatan luas kepada anak didik untuk berkembang menurut kemampuannya, memungkinkan mereka belajar menurut cara yang dikehendaki.
3)    Memberi dasar pengajaran yang lebih ilmiah dengan jalan menyajikan/merencanakan program pengajaran secara logis dan sistematis, mengembangkan kegiatan pengajaran melalui penelitian, baik secara pelengkap maupun sebagai terapan.
4)    Pengajaran dapat dilakukan secara mantap dikarenakan meningkatnya kemampuan manusia sejalan dengan pemanfaatan media komunikasi, informasi dan data dapat disajikan lebih konkret dan rasional.
5)    Meningkatkan terwujudnya immediacy of learning karena media teknologi dapat menghilangkan atau mengurangi jurang pemisah antara kenyataan di luar kelas dengan kenyataan yang ada di dalam kelas, memberikan pengetahuan langsung.
6)    Memberikan penyajian pendidikan lebih luas, terutama melalui media massa, dengan jalan memanfaatkan secara bersama dan lebih luas peristiwa-peristiwa langka, menyajikan informasi yang tidak terlalu menekankan batas ruang dan waktu.
Adapun menurut Arif S. Sadiman dkk,  dalam bukunya media pendidikan pengertian, pengembangan dan pemanfaatan, kegunaan media pendidikan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1)    Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan saja)
2)    Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, seperti materi al-Qur’an Hadis dapat menggunakan kaset/tape.
3)    Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik agar menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan, dan memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
4)    Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan jika semua harus diatasi sendiri apalagi bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda, maka dengan media masalah ini dapat teratasi yaitu menimbulkan persepsi yang sama.
C.    Ruang Lingkup Materi dan Urgensinya dalam Proses Pembelajaran PAI
Dalam tahun-tahun belakangan ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran ke arah paradigma konstruktivisme. Menurut pandangan ini bahwa pengetahuan tidak begitu saja bisa ditransfer oleh guru ke pikiran siswa, tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksi di dalam pikiran siswa itu sendiri. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered), tetapi yang lebih diharapkan adalah bahwa pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). Dalam kondisi seperti ini, guru atau pengajar lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Jadi, siswa atau pebelajar sebaiknya secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar, berupa lingkungan. Lingkungan yang dimaksud (menurut Arsyad, 2002) adalah guru itu sendiri, siswa lain, kepala sekolah, petugas perpustakaan, bahan atau materi ajar (berupa buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video, atau audio, dan yang sejenis), dan berbagai sumber belajar serta fasilitas (OHP, perekam pita audio dan video, radio, televisi, komputer, perpustakaan, laboratorium, pusat-pusat sumber belajar, termasuk alam sekitar).
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin juga guru). Penyampaian pesan ini bisa dilakukan melalui simbul-simbul komunikasi berupa simbul-simbul verbal dan non-verbal atau visual, yang selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos, 1996)
. Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai medium (Gagne, et al., 1988) atau mediator, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat disebut sebagai media. Heinich, et.al., (1993) memberikan istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima.
Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal .
Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Posisi Media Pembelajaran
Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang efektif .
Karakteristik Media Pembelajaran
Gerlach dan Ely mengemukakan tiga karakteristik media berdasarkan petunjuk penggunaan media pembelajaran untuk mengantisipasi kondisi pembelajaran di mana guru tidak mampu atau kurang efektif dapat melakukannya. Ketiga karakteristik atau ciri media pembelajaran tersebut (Arsyad, 2002) adalah: a) ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b) ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu. Sebagai contoh, misalnya proses larva menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu dapat disajikan dengan waktu yang lebih singkat (atau dipercepat dengan teknik time-lapse recording). Atau sebaliknya, suatu kejadian/peristiwa dapat diperlambat penayangannya agar diperoleh urut-urutan yang jelas dari kejadian/peristiwa tersebut; c) ciri distributif, yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.
Macam-macam Media Pembelajaran
Media grafis (visual). Pada prinsipnya semua jenis media dalam kelompok ini merupakan penyampaian pesan lewat simbul-simbul visual dan melibatkan rangsangan indera penglihatan. Karakteristik yang dimiliki adalah: bersifat kongkret, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, dapat memperjelas suatu masalah dalam bidang masalah apa saja dan pada tingkat usia berapa saja, murah harganya dan mudah mendapatkan serta menggunakannya, terkadang memiliki ciri abstrak (pada jenis media diagram), merupakan ringkasan visual suatu proses, terkadang menggunakan simbul-simbul verbal (pada jenis media grafik), dan mengandung pesan yang bersifat interpretatif .
Media audio. Hakekat dari jenis-jenis media dalam kelompok ini adalah berupa pesan yang disampaikan atau dituangkan kedalam simbul-simbul auditif (verbal dan/atau non-verbal), yang melibatkan rangsangan indera pendengaran. Secara umum media audio memiliki karakteristik atau ciri sebagai berikut: mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas), pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran (pada jenis media radio) .
Media proyeksi diam. Beberapa jenis media yang termasuk kelompok ini memerlukan alat bantu (misal proyektor) dalam penyajiannya. Ada kalanya media ini hanya disajikan dengan penampilan visual saja, atau disertai rekaman audio. Karakteristik umum media ini adalah: pesan yang sama dapat disebarkan ke seluruh siswa secara serentak, penyajiannya berada dalam kontrol guru, cara penyimpanannya mudah (praktis), dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera, menyajikan obyek -obyek secara diam (pada media dengan penampilan visual saja), terkadang dalam penyajiannya memerlukan ruangan gelap, lebih mahal dari kelompok media grafis, sesuai untuk mengajarkan keterampilan tertentu, sesuai untuk belajar secara berkelompok atau individual, praktis dipergunakan untuk semua ukuran ruangan kelas, mampu menyajikan teori dan praktek secara terpadu, menggunakan teknik-teknik warna, animasi, gerak lambat untuk menampilkan obyek/kejadian tertentu (terutama pada jenis media film), dan media film lebih realistik, dapat diulang-ulang, dihentikan, dsb., sesuai dengan kebutuhan.
Media permainan dan simulasi. Ada beberapa istilah lain untuk kelompok media pembelajaran ini, misalnya simulasi dan permainan peran, atau permainan simulasi. Meskipun berbeda-beda, semuanya dapat dikelompkkan ke dalam satu istilah yaitu permainan (Sadiman, 1990). Ciri atau karakteristik dari media ini adalah: melibatkan pebelajar secara aktif dalam proses belajar, peran pengajar tidak begitu kelihatan tetapi yang menonjol adalah aktivitas interaksi antar pebelajar, dapat memberikan umpan balik langsung, memungkinkan penerapan konsep-konsep atau peran-peran ke dalam situasi nyata di masyarakat, memiliki sifat luwes karena dapat dipakai untuk berbagai tujuan pembelajaran dengan mengubah alat dan persoalannya sedikit saja, mampu meningkatkan kemampuan komunikatif pebelajar, mampu mengatasi keterbatasan pebelajar yang sulit belajar dengan metode tradisional, dan dalam penyajiannya mudah dibuat serta diperbanyak
 readmore

Makalah Konsep Dasar Pembiyaan Pendidikan

Makalah Konsep Dasar Pembiyaan Pendidikan - Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Konsep biaya dalam bidang pendidikan memberikan pandangan bahwa lembaga pendidikan merupakan produsen jasa pendidikan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki seorang lulusan. Lembaga pendidikan memperoleh input berupa sumber daya manusia yang kemudian diproses melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan untuk menghasilkan output yang mampu bersaing serta dapat memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Ada 4 unsur pokok dalam definisi biaya:
1. Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi.
2. Diukur dalam satuan uang.
3. Yang telah terjadi atau yang secara potensial akan terjadi.
4. Pengorbanan tersebut untuk tujuan tertentu.

Biaya operasional pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar kegiatan pendidikan dapat berlangsung sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan yang terdiri atas biaya operasi kepersonaliaan dan biaya operasi non kepersonaliaan. Sekolah memerlukan adanya pembiayaan operasional pendidikan yang diperoleh dari sumber-sumber yang telah ditentukan demi kelancaran kegiatan pendidikan.
Efektifitas merupakan sebuah fenomena yang mengandung banyak segi, sehingga sedikit sekali orang yang dapat memaksimalkan keefektivitasan sesuai dengan keefektivitasan itu sendiri. Atau dapat dikatakan bahwa  efektivitas masih merupakan sebuah konsepsi yang bersifat elusive (sulit diraih) yang harus didefinisikan secara jelas. Sehingga efektivitas organisasi atau lembaga pendidikan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, bergantung pada kerangka acuan yang dipakai.

Keefektifan merupakan derajat di mana sebuah organisasi mencapai tujuaannya. Anwar mengemukakan bahwa efektivitas sebagai konsep kausal secara esensial, di mana hubungan maksud-hingga-tujuan (means-to-end relationship) serupa dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), terdapat tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam studi tentang efektivitas organisasi pendidikan, yaitu: (1) cakupan pengaruh; (2) kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu (ditandai sebagai mode pendidikan); dan (3) fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh. .
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa efektifitas organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk  merealisasikan berbagai tujuan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mampu bertahan agar tetap eksis/hidup. Sehingga organisasi dikatakan efektif jika organisasi tersebut mampu menciptakan suasana kerja dimana para pekerja tidak hanya melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya, tetapi juga membuat suasana supaya pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam mencapai tujuan.

Konsep efektivitas pendidikan mengacu pada kinerja unit organisasi, oleh sebab itu maksud dari efektivitas sesungguhnya pencapaian tujuan, maka asumsi kriteria yang digunakan harus mencerminkan sasaran akhir dari organisasi itu sendiri. .

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa efektifitas merupakan satu dimensi tujuan manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Lembaga pendidikan yang efektif adalah lembaga pendidikan yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya indikator-indikator tersebut. Sehingga dengan demikian, efektifitas lembaga pendidikan bukan sekedar pencapaian sasaran dan terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan erat dengan syaratnya indikator tersebut dengan mutu, atau dengan kata lain ditetapkannya pengembangan mutu lembaga pendidikan.

Efisiensi menurut Mulyadi mengacu pada ukuran penggunaan daya yang langkah oleh organisasi. Efisiensi juga ditekankan pada perbandingan antara input/sumber daya dengan out put. Sehingga suatu kegiatan dikatakan efisiien bila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Efisiensi dengan demikian merupakan perbandingan antara input dengan out put, tenaga dengan hasil, perbelanjaan dan masukan, serta biaya dengan kesenangan yang dihasilkan.
Dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja  yang besar, kepercayaan berbagai pihak, dan pembiayaan, waktu, dan tenaga sekecil mungkin tetapi hasil yang didapatkan maksimal. Dengan demikian, efisiensi merupakan faktor yang sangat urgen dalam rangka manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam secara umum dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, yang secara langsung berdampak terhadap kegiatan manajemen.

Di atas telah dikemukakan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara input dan output. Dalam pendidikan, input adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Sumber daya tersebut terkait dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Nilai menggariskan tujuan serta isi pendidikan, faktor manusia merupakan   pelaksana pendidikan, dan faktor ekonomi menyangkut biaya dan fasilitas penyelenggaraan. Secara operasional, masukan tersebut adalah peserta didik, guru, ruang kelas, buku teks, peralatan, kurikulum serta sarana pendidikan. Masukan ini bisa dinyatakan dalam bentuk biaya pendidikan per peserta didik setiap tahun . Sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan, dapat dihitung dari banyaknya tahun yang dihabiskan peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan studinya. Efisiensi ini akan menurun jika ada peserta didik yang mengulang atau DO.

Selain dianalisis dari perbandingan komponen input dan output, efisiensi juga bisa ditinjau dari sisi proses pendidikan, dimana merupakan interaksi antara faktor manusiawi dan non manusiawi dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan sesuai dengan rentang waktu yang telah ditentukan. Sehingga pendidikan dikatakan efisien jika proses atau kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Diatas telah dikemukakan bahwa efisiensi diklasifikasikan menjadi (1) efisiensi internal dan (2) efisiensi eksternal. Dalam kajian sistem pendidikan, dengan diberlakukannya school based management diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan melalui perbaikan serta peningkatan efisiensi internal pendidikan melalui inovasi manajemen serta pembelajaran yang menyertainya, seperti peningkatan peran dewan sekolah,   penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dll. Sementara itu efisiensi eksternal merujuk pada hubungan antara keuntungan kumulatif yang diperoleh dari sistem lebih dari satu periode tertentu dan input-input yang sesuai digunakan dalam menghasilkan keuntungan.

Dalam dunia pendidikan, upaya dalam rangka meningkatkan efisiensi pendidikan dalam konteks peningkatan mutu, paling tidak dapat ditentukan oleh dua hal, yakni manajemen pendidikan yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan pendidikan yang meluas. Dalam hal ini, analisis terhadap efisiensi pendidikan juga dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan tidak memperhatikan secara terinci unsur-unsur biaya yang digunakan dalam proses pendidikan (agregate approach), serta pendekatan yang memperhitungkan kontribusi biaya secara terinci dalam proses pendidikan untuk menghasilkan keluaran (ingredient approach). Kedua pendekatan nampak berbeda dalam memperhitungkan biaya dalam proses pendidikan, yang satu menggunakan total biaya dalam menilai kontribusi biaya terhadap pendidikan, sedangkan yang satu memperhitungkan kontribusi per unsur . Namun demikian, tujuan yang ingin dicapai kedu pendekatan tersebut sama, yaitu mengidentifikasi dampak mapun ekses penggunaan biaya.
Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa perbedaan karaktersitik situasi dan input yang terlibat mempunyai implikasi pada biaya pendidikan yang diperlukan. Karena itu keputusan tentang efisiensi haruslah kontekstual dan proporsional. Keputusan kontekstual dan proporsional ini sangat membutuhkan ketersediaan informasi tentang karakteristik situasi dan input yang terlibat dalam proses pendidikan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
Dengan demikian, dalam menganalisis efektifitas mutu pendidikan sebagaimana juga dalam efektifitas pendidikan harus diperhatikan aspek input dan proses pendidikan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka sistem pendataan yang akurat, tepat guna, dan waktu perlu dikonstruks secara mendasar melalui peningkatan infrastruktur teknologi informasi pada setiap lembaga pendidikan, yang meliputi kemampuan staf, arus data yang melekat dalam proses manajemen, pusat pelatihan pendataan, serta sarana prasarana pendukung.
Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan melalui efisiensi pengelolaan pendidikan, analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara simultan, terus-menerus, dan mendalam agar setiap unit  kerja dalam lembaga pendidikan dapat melaksanakan manajemen secara efisien.

B. Manajemen Pembiyaan Pendidikan

Pembiayaan Dalam Pengembangan Pendidikan.Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk miningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam UUD 1945 pasal 31 “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Hal ini membuktikan adanya langkah pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Kenyataannya, tidak semua orang dapat memperoleh pendidikan yang selayaknya, dikarenakan berbagai faktor termasuk mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Kondisi inilah kemudian mendorong dimasukannya klausal tentang pendidikan dalam amandemen UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan pendidikan. Ketentuan ini memberikan jaminan bahwa ada alokasi dana yang secara pasti digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan. Namun, dalam pelaksanaanya pemerintah belum punya kapasitas finansial yang memadai, sehingga alokasi dana tersebut dicicil dengan komitmen peningatan alokasi tiap tahunnya.
Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan dapat menghasilkan mamfaat berupa peningkatan kualitas SDM. Disisi lain, prioritas alokasi pembiayaan pendidikan seyogianya diorientasikan untuk mengatasi permasalahan dalam hal aksebilitas dan daya tampung. Karena itu, dalam mengukur efektifitas pembiayaan pendidikan, terdapat sejumlah prasyarat yang perlu dipenuhi agar alokasi anggaran yang tersedia dapat terarah penggunaannya.
Menurut Horngren, Human Capital yang berupa kemampuan dan kecakapan yang diperoleh melalui Pendidikan, belajar sendiri, belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Perolehan ketrampilan dan kemampuan akan menghasilkan tingkat balik Rate of Return yang sangat tinggi terhadap penghasilan seseorang. Berdasarkan pendekatan Human Kapital ada hubungan Lenier  antara Investment Pendidikan dengan Higher Productivity dan Higher Earning. Manusia sebagai modal dasar yang di Infestasikan akan menghasilkan manusia terdidik yang produktif dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kerja yang ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut,dengan demikian manusia yang memperoleh penghasilan lebih besar dia akan membayar pajak dalam jumlah yang besar dengan demikian dengan sendirinya dapat meningkatkan pendapatan negara.

Peningkatan ketrampilan yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang produktivitasnya tinggi dapat dilakukan melalui Pendidikan yang dalam pembiayaannya menggunakan efesiensi Internal dan Eksternal. Dalam upaya mengembangkan suatu sistem pendidikan nasional yang berporos pada pada pemerataan, relevansi, mutu, efisiensi, dan efektivitas dikaitkan dengan tujuan dan cita-cita pendidikan kita, namun dalam kenyataannya perlu direnungkan, dikaji, dibahas, baik dari segi pemikira tioritis maupun pengamatan emperik.
Untuk dapat tercapai tujuan pendidikan yang optimal, maka salah satunya hal paling penting adalah mengelola biaya dengan baik sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan. Administrasi pembiayaan minimal mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Penyaluran anggaran perlu dilakukan secara strategis dan intergratif antara stakeholder agar mewujutkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal pemerintah maupun antara pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri dapat ditumbuhkan.
Keterbukaan, partisipasi, akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi kata- kata kunci untuk mewujutkan efektifitas pembiayaan pendidikan.

C. Strategi Sekolah Dalam Menggalang Dana Pendidikan

Harus diakui permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan permasalahan klasik yang tak berujung. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 397.000 per siswa SD per tahun di Kabupaten ( Rp.400.000 di Kota ) dan Rp 570.000 per siswa SMP per tahun di Kabupaten ( Rp.570.000 di Kota ) yang diberikan ke sekolah sesuai jumlah siswa setiap 3 bulan sebenarnya belum mencukupi bagi sekolah yang memiliki siswa kurang dari 700 orang. Karena jumlah mata pelajaran yang harus diajarkan sama saja dengan sekolah yang siswanya banyak. Hal ini terkait dengan jumlah guru yang harus dibayar honornya bagi sekolah swasta, atau biaya operasional sekolah negeri maupun swasta. Banyak sekolah yang hanya mengandalkan dana BOS sehingga sering kali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat ditemui protes terkait urusan biaya sekolah. Anak putus sekolah meskipun berusaha diminimalisir, di berbagai daerah sebenarnya ada yang tidak terpantau.
Sumber-sumber dana pendidikan antara lain meliputi :
1. Anggaran rutin ( DIPA );
2. Anggaran pembangunan ( DAK );
3. Dana Penunjang Pendidikan ( DPP );
4. Dana Komite Sekolah/Madrasah
5. Donatur; dan lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak yang terkait.
Pendanaan pendidikan pada dasarnya bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat (pasal 33 No. 2 tahun 1989).


Jika ditinjau berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, ( Pasal 46 Ayat 1 ). “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Namun persoalannya, masyarakat ternyata tidak memiliki aset kekayaan memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan yang layak. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup yang tetap saja menjadi persoalan pelik. Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi jika berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tidak sampai perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi biaya pendidikan setiap warga negaranya hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi. Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tidak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan pascapendidikan dasar (SD-SMP). Memang tidak akan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk memasok kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan.

Merujuk hasil sebuah pengamatan, terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini :
Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3).
Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi.
Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.
Keempat model yang diutarakan di atas bukanlah standar baku pembiayaan pendidikan. Lalu, bagaimana model pembiayaan pendidikan yang sekiranya tepat diterapkan di Indonesia?
 readmore

Makalah Pendidikan Anak Usia Dini

BAB I 
PENDAHULUAN    
1.1. Latar belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Tak ada satu pun yang luput dari Pengawasan dan Kepedulian-Nya. merupakan tugas orang tua dan guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah penerimaan yang utuh terhadap keadaan anak.

Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya.
Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk  pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
1.2. Tujuan pembuatan makalah
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan 
  2. Melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. 
  3. Melatih mahasiswa dalam pengalaman langsung atau tidak langsung dalam 
  4. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini mulai lahir sampai baligh (kalau perempuan ditandai menstruasi sedangkan laki-laki sudah mimpi sampai mengeluarkan air mani) adalah tanggung jawab sepenuhnya orang tua. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 butir 14, pendidikan anak usia dini didefinisikan sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  1. Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. 
  2. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
Infant (0-1 tahun)
Toddler (2-3 tahun)
Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Hal-hal yang harus dipahami dalam Karakteristik Anak Usia Dini adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya. 
  2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik. 
  3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya. 
  4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis. 
  5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya fisik dan psikologis ( hall & lindzey, 1993).
Adapun pentingnya pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah sebagai berikut:
  1. PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental. 
  2. PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak. 
  3. Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. 
  4. Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak. 
  5. Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.
Pendidikan AnakUsia Dini merupakan Komitmen Dunia seperti yang tertera dalam kutipan sebagai berikut:
  1. Komitmen Jomtien Thailand (1990) ’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’ 
  2. Deklarasi Dakkar (2000) ’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’ 
  3. Deklarasi  ”A World Fit For Children” di New York (2002) ‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’
2.2 Landasan Yuridis Tentang PAUD
  1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’ 
  2.  Amandemen UUD 1945 pasal 28 C ’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’ 
  3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1) ’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’ 
  4. UU No 20/2003 pasal 28
  • Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. 
  • Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal. 
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. 
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. 
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
2.3 Perkembangan Anak
Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Perkembangan anak sebagai perubahan psikologis menurut Kartini Kartono ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam fase tertentu.
Nana Syaodah Sukmadinata mengemukakan ada tiga pendekatan perkembangan individu, yaitu Pendekatan Pentahapan, diferensial dan isaptif. Khususnya pada pendekatan isaptif pada perkembangan anak mencakup perkembangan psikososial, perkembangan motorik, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, perkembangan bahasa, perkembangan moral dan perkembangan emosional.
tahapan perkembangan psikososial anak menurut Erik Erikson dalam Malcolm Knowles adalah sebagai berikut:
  1. Tahap kepercayaan dan ketidak percayaan (trust versus misstrust), yaitu tahap psikososial yang terjadi selama tahun pertama kehidupan. Pada tahap ini,bayi mengalami konflik anatara percaya dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. 
  2. Tahap otonomi dengan rasa malu dan ragu (autonomi versus shame and doubt), yaitu tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru pandai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau atonomi mereka dan menyadari kemauan mereka. Jika orangtua cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu. 
  3. Tahap prakarsa dan rasa bersalah (initiatif versus guilt), yaitu tahap perkembangan psikososial ketiga yang berlangsung selama tahun pra sekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat, dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif semakin kuat. Sebaliknya, bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif mendekati apa yang diinginkannya. 
  4. Tahap kerajinan dan rasa rendah diri (industry versus inferiority),yaitu perkembangan yang berada langsung kira-kira tahun sekolah dasar. Pada tahap ini, anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.perasaan anak akan timbul rendah diri apabila tidak bisa menguasai keterampilan yang diberikan disekolah. 
  5. Tahap identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion), yaitu perkembangan yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap ini, anak dihadapkan pada pencarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti ditengah masyarakat baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun memperbaharui. Apabila anak mengalami krisis dari masa anak kemasa remaja maka akan menimbulkan kekacauan identitas yang mengakibatkan perasaan anak yang hampa dan bimbang. 
  6. Tahap keintiman dan isolasi (intimacy versus isolation), yaitu perkembangan yang dialami pada masa dewasa. Pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan oranglain. Menurut erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya selama tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan oranglain kecuali dalam lingkup yang amat terbatas. 
  7. Tahap generativitas dan stagnasi (generativity versus stagnation), yaitu perkembangan yang dialami selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas tidak diungkapkan dan lemah maka kepribadian akan mundul mengalami pemiskinan dan stagnasi. 
  8. Tahap integritas dan keputusasaan (integrity versus despair), yaitu perkembangan selama akhir masa dewasa. Integritas terjadi ketika seorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasa aman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi orangtua yang dihantui perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya maka ia akan merasa putus asa.
Perkembangan Kognitif Anak Menurut PIAGET tahapan perkembangan ini dibagi dalam 4 tahap yaitu sebagai berikut:
 
1. Sensori Motor (usia 0-2 tahun) 
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya.
 
Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'.
 
Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).

2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun) 
Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis - rumit.
Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.

3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun) 
Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis.
 
Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa.
Misalnya: Analogi 'hidup kekal' - diangkat menjadi anak-anak Tuhan dengan konsep keluarga yang mampu mereka pahami.

4. Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas) 
Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga.
 
Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk dapat memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.
Pada umumnya dalam perkembangan Emosional seorang anak terdapat empat kunci utama emosi pada anak yaitu :
perasaan marah
perasaan ini akan muncul ketika anak terkadang merasa tidak nyaman dengan lingkungannya atau ada sesuatu yang mengganggunya. Kemarahan pun akan dikeluarkan anak ketika merasa lelah atau dalam keadaan sakit. Begitu punketika kemauannya tidak diturutioleh orangtuanya, terkadang timbulrasa marah pada sianak.
perasaan takut
rasa takut ini di rasakan anak semenjak bayi. Ketika bayi merekatakut akan suara-suara yang gaduh atau rebut. Ketika menginjak masa anak-anak, perasaan takut mereka muncul apabila di sekelilingnya gelap. Mereka pu mulai berfantasi dengan adanya hantu, monster dan mahluk-mahluk yang menyeramkan lainnya.
perasaan gembira
perasaan gembira ini tentu saja muncul ketika anak merasa senang akan sesuatu. Contohnya ketika anakdiberi hadiaholeh orang tuanya, ketika anak juara dalam mengikuti suatu lomba, atau ketika anak dapat melakukan apa yang diperintahkan orang tuanya. Banyak hal yang dapat membuat anak merasa gembira.
rasa humor
Tertawa merupakan hal yang sangat universal. Anak lebih banyak tertawa di bandingkan orang dewasa. Anak akan tertawa ketika melihat sesuatu yang lucu.
Keempat perasaan itu merupakan emosi negative dan positif. Perasaan marah dan ketakutan merupakan sikap emosi yang negative sedangkan perasaan gembira dan rasa lucu atau humor merupakan sikap emosi yang positif.
Menurut Kohlberg Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
2.4 peranan keluarga
Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar-dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan  pendidikan sudah dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan merespons apa-apa yang  dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.
Tidak heran kemudian apabila anak yang dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang kurang membaik semasa masih dalam kandungan berpengaruh terhadap kecerdasan anak ketika lahir.
Dengan demikian, pihak keluarga sejatinya banyak mengetahui perkembangan-perkembangan anak. Pada saat anak masih dalam kandungan, pihak orang tua harus lebih memperbanyak perkataan, perbuatan, dan tindakan-tindakan yang lebih edukatif.
Ketika anak itu sudah lahir, maka tantangan terberat adalah bagaimana orang tua dapat mengasihi dan menyayangi anak sesuai dengan dunianya. Poin yang kedua ini ketika anak-anak (usia bayi hingga dua tahun) mempunyai tahap perkembangan yang cukup potensial. Anak-anak mempunyai imajinasi dengan dunianya yang bisa membuahkan kreativitas dan produktivitas pada masa depannya. Tapi, pada fase-fase tertentu banyak orang tua tidak memberikan kebebasan untuk berekspresi, bermain, dan bertingkah laku sesuai dengan imajinasinya. Banyak orang tua yang terjebak pada pembuatan peraturan yang ketat. Ini memang tujuannya untuk kebaikan anak. 
Pengekangan dan pengarahan menurut orang tua tidak baik untuk memompa kecerdasan dan kreativitas anak. Bahkan, malah berakibat sebaliknya, yakni anak-anak akan kehilangan dunianya sehingga daya kreativitas anak dipasung dan dipaksa masuk dalam dunia orang tua. Paradigma semacam inilah yang sejatinya diubah oleh pihak orang tua dalam proses pendidikan anak usia dini.
Menarik salah satu pernyataan seorang pujangga Lebanon, Kahlil Gibran (1883). "Anak kita bukanlah kita, pun bukan orang lain. Ia adalah ia. Dan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Karena itu, memerlukan sesuatu yang lain dengan yang kita butuhkan. Kita hanya boleh memberi rambu-rambu penentu jalan dan menemaninya ikut menyeberangi jalan. Kita bisa memberikan kasih sayang, tapi bukan pendirian. Dan sungguh pun mereka bersamamu, tapi bukan milikmu.
Pernyataan tersebut cukup tepat untuk mewakili siapa sebenarnya anak-anak kita dan bagaimana seharusnya kita berbuat yang terbaik untuknya. Untuk itu pernyataan di atas sejatinya dijadikan referensi dalam memandang anak-anak oleh keluarga, terutama orang tua, yang  ingin menjadikan anaknya berkembang secara kreatif, dinamis, dan produktif.
Keluarga yang selama ini masih cenderung kaku dalam mendidik anaknya pada masa kecil sejatinya diubah pada pola yang lebih bebas. Anak adalah dunia bermain. Dunia anak adalah dunia di mana keliaran imajinasi terus mengalir deras.
Anak sudah mempunyai dunianya tersendiri yang beda dengan orang dewasa. Hanya dengan kebebasan bukan pengerangkengan anak-anak akan bisa memfungsikan keliaran dan kreativitasnya secara lebih produktif. Hanya dengan dunianya anak-anak akan mampu mengaktualisasikan segenap potensi yang ada dalam dirinya.
Oleh karena begitu besarnya peranan orang tua dalam perkembangan anak maka orang tua dituntut untuk dapat memahami pola-pola perkembangan anak sehingga mereka dapat mengarahkan anak sesuai dengan masa perkembangan anak tersebut. Selanjutnya orangtua berkewajiban untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memadai untuk menunjang perkembangan anak-anaknya. Dengan tercapainya perkembangan anak kearah yang sempurna maka akan terciptanya keluarga yang sejahtera. Menurut Siregar dalm makalahnya 2 agustus 1996 pada seminar hari anak Indonesia di Bandung mengemukakan tentang keluarga sejahtera yaitu bahwa keluarga sejahtera selalu didambakan setiap individu. Tujuan utama dari keluarga sejahtera adalah keluarga hendaknya merupakan wadah pengembangan anak seoptimal mungkin, sehingga mereka berkembang menjadi pribadi dewasa yang penuh tanggung jawab dan matang dikemudian hari.
2.5 Menumbuhkan Kecerdasan Anak Usia Dini
Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Namun secara pasti berangsur-angsur anak akan terus belajar dengan lingkungannya yang baru dan dengan alat inderanya, baik itu melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan mapun pengecapan. Anak berkemungkinan besar untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Bahkan anak bisa meningkat pada taraf perkembangan tertinggi pada usia kedewasaannya sehingga ia mampu tampil sebagai pionir dalam mengendalikan alam sekitar. Hal ini karena anak memiliki potensi yang telah ada dalam dirinya. 
Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan sepertiu terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu menumbuhkan kecerdasan anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak. Sebab jika potensi kecerdasannya tidak dibimbing dan diarahkan dengan rangsangan-rangsangan intelektual, maka walaupun dia memiliki bakat jenius aakan tidak ada artinya sama sekali. Sebaliknya jika seorang anak yang memiliki kecerdasan rata-rata atau normal bila didukung lingkungan yang kondusif maka ia akan dapat tumbuh menjadi anak yang cerdas diatas rata-rata atau superior. Hal ini berarti lingkungan memegang peranan penting bagi pendidikan anak selain bakat yang telah dimiliki oleh anak itu sendiri.
2.6 Karakteristik Belajar Anak
Menurut konsep PAUD yang sebenarnya, anak-anak seharusnya dikondisikan dalam suasana belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan lewat berbagai permainan. Dengan demikian, kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman tetap terpenuhi. Kalaupun kepada siswa SD kelas awal ingin diajarkan konsep berhitung, contohnya, pilihlah sarana pembelajaran melalui nyanyian atau cara lain yang mudah dipahami dan menyenangkan.
Hanya saja, meski sama-sama melalui cara yang menyenangkan, tujuan pendidikan anak usia prasekolah berbeda dari pendidikan anak usia sekolah dasar awal. Kalau pendidikan bagi anak usia prasekolah bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, maka konsep pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan mengarahkan anak agar dapat mengikuti tahapan-tahapan pendidikan sesuai jenjangnya. Selain tentu saja untuk mengembangkan berbagai kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guna mengoptimalkan kecerdasannya.
Proses pembelajaran kepada anak harus sesuai dengan konsep pendidikan anak usia dini. Mengajarkan konsep membaca dan berhitung, contohnya, haruslah dengan cara yang menarik dan bisa dinikmati anak. Yang tidak kalah penting, selama proses belajar, jadikan anak sebagai pusatnya dan bukannya guru yang mendominasi kelas. Dalam pelaksanaannya, inilah yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Jadi bukannya "CBSA" yang kerap diplesetkan sebagai "Catat Buku Sampai Abis".
Sementara pendidikan usia dini yang diberikan dalam keluarga juga harus berpijak pada konsep PAUD. Artinya, pola asuh yang diterapkan orang tua hendaknya cukup memberi kebebasan kepada anak untuk mengembangkan aneka keterampilan dan kemandiriannya. Ingat, porsi waktu terbesar yang dimiliki anak adalah bersama keluarganya dan bukan di sekolah.
2.7 Program Pendidikan Bagi Anak Usia Dini
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1992 tentang pendidikan pra-sekolah, pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “bentuk satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak serta bentuk lain yang diterapkan oleh Menteri.
Kelompok Bermain
Pendidikan dini bagi anak-anak usia pra-sekolah (3-6 tahun) merupakan hal yang penting, karena pada usia ini merupakan masa membentuk dasar-dasar kepribadian manusia, kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan serta kemandirian maupun kemampuan bersosialisasi. Pada dasarnya dunia anak adalah dunia fundamental dari perkembangan manusia menuju manusia dewasa yang sempurna. Disadari bahwa generasi merupakan generasi penerus yang perlu dibina sejak dini, karenanya pembinaan sejak dini merupakan tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Pembinaan anak usia pra-sekolah terutama peranan keluarga sangat menentukan. 
Menurut Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra-sekolah, Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk usaha kesejahteraan anak dengan mengutamakan kegiatan bermain, yang juga menyelenggarakan pendidikan pra-sekolah bagi anak usia 3 tahun sampai memasuki pendidikan dasar.
Selama tahun pra-sekolah, taman kanak-kanak, pusat penitipan anak-anak dan kelompok bermain semuanya menekankan permainan yang memakai mainan. Akibatnya baik sendiri atau berkelompok mainan merupakan unsure yang penting dari aktivitas bermain anak. Bermain dengan teman-teman sebayanya, anak dirangsang dalam kemampuan mental seperti kecerdasan, kreativitas, kemampuan sosial yang sangat bermanfaat pada masa kini dan masa yang akan datang. Kegiatan bermain memiliki arti positif terhadap perkembangan sosial anak. Seperti yang dikemukakan oleh Zulkifli bahwa dengan berman mereka lebih banyak mengenal benda-benda yang berguna bagi perkembangan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dengan mengenal benda seperti mobil dapat mengembangkan rasa sosial anak dimana benda tersebut dapat membantu orang lain eprgi kesuatu tempat tertentu. Secara lebih jauh dapat dilihat dengan adanya perkembangan teknologi menunjukan makin menariknya teknis dan permainan elektronik bagi anak yang ditunjang oleh situasi dan kondisi dimana anak-anak sulit mendapat teman sebaya untuk bersosialisasi sehingga anak dapat menonton atau bermain sendiri tanpa memerlukan oranglain.
BAB III KESIMPULAN
Seorang anak yang baru lahir, ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan sepertiu terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu menumbuhkan kecerdasan anak yaitu mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri anak.
Masa usia dini merupakan Periode emas yang merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat  berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk  pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain.
DAFTAR PUSTAKA
M. Taqiyuddin. (2005). Pendidikan Untuk semua (Dasar dan Falsafah Pendidikan Luar Sekolah). Cirebon: STAIN Cirebon Press.
Purwanto. Ngalim. (2006). Ilmu pendidikan teoretis dan praktis. Bandung: Rosda
Gunawan, Ari. (1995). Kebijakan-kebijakan Pendidikan. Jakarta: PT. Rhineka Cipta
Tilaar. (1992). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda
Latif, Abdul. (2007). Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Reflika Aditama
Nurihsan, Juntika, 2007. Perkembangan Peserta Didik, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini
http://qeeasyifa.multiply.com/journal/item/61/MEMAHAMI_PENDIDIKAN_ANAK_USIA_DINI
http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3?edisi=07327&rubrik=topas
http://eldiina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=1
www.akhmadsudrajat.wordpress.com
 readmore