IKLAN;
IKLaN
A. Pengertian Kurikulum
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang dari satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat
dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya
dalam kamusnya tahun 1856.
Artinya pada waktu itu artinya ialah:
- A race course ; a place for running ; a chariot.
- A courase in general ; applied particulary to the course of study in a university.
Jadi dengan “kurikulum” dimaksud jarak yang harus di tempuh oleh pelari
atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga
berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu
alat yang membawa seseorang dari “start” sampai “finish”.
Disampaing penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olah raga,
kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di
perguruan tinggi.
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular
sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh
pendidikan di America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah
“rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan
rencana pelajaran.
Dalam teori praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak
ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau
istilah yang lebih luas.
Perubahan ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki.
Selain itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum
adalah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah
perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan
perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan
yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan
kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara
kontinu.
Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek
pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan
dengan teori kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori
kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam
definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya
kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan
sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh
seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun
diluar kelas.
Dibawah ini beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum.
1. J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum
planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar,
apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah
termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan extra kurikuler
2. Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school
curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti
halnya dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas
pada mata pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di
dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.
3. B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang
kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the
school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of
thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah
pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda,
agar mereka dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4. William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh
program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak
dibawah tanggung jawab sekolah.
Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh
kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara guru dan murid,
metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5. J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary
school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang luas,
menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan
belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga
mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan
hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan
memilih mata pelajaran.
6. Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum.
Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia
mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana
sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang
melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para
pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang kurikulum sangat luas
yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan,
kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma
melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai
sekolah.
7. Edward A, Krug dalam secondary school curriculum (1960)
menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum,
kurikulum dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan
persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan
tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga
agama, masyarakat, dan lain-lainnya.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1) Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil
karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2) Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
3) Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan
akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4) Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas
berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai
apa yang secara actual menjadi kenyataan pada setial siswa.
B. Program Kurikulum Pendidikan
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer
plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular
ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan
lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan
nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950.
Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari
Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran
dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan
watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran
dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan
pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana
Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang
guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur
Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16
tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau
Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam
lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan
1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada
pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat
mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di
lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan
efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang
manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,”
kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah
“satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru
dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga
sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny
R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang
juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode
1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di
sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi
saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu
menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas
lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang
menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA
bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan
Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran,
lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional
hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga
mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil,
Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim
Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi
perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran
diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya,
kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni
ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan
ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu
lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa
besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau
Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya
tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi
yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan
proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis
evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang
paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa
serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan
perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan
kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi
pemerintah Kabupaten/Kota.
Sumber : infodiknas.com
IKLAN
0 komentar on Makalah Pengertian dan Perkembangan Kurikulum di Indonesia | Pengembangan Kurikulum PAI :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !